HARUSKAH BAHASA INGGRIS DIHAPUS?

(Tulisan saya ini dimuat di koran PIKIRAN RAKYAT edisi 23 Oktober 2012)



Bahasa Inggris adalah lingua franca di pentas internasional. Di era globalisasi, kedudukan bahasa Inggris semakin menguat karena bahasa tersebut dipakai di dalam semua bidang seperti: ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, komunikasi, politik, ekonomi, perdagangan, perbankan, budaya, seni, dan film. Maka di era yang penuh persaingan ketat ini setiap orang dituntut tidak sekedar mempunyai jenjang pendidikan yang tinggi, tetapi juga mesti memiliki keterampilan khusus yang lazim disebut sebagai “skill”. Salah satu skill yang paling krusial adalah bahasa Inggris.
                  Menyadari hal tersebut, maka di Indonesia bahasa Inggris menjadi bahasa asing pertama yang harus dikuasai oleh pelajar dan mahasiswa. Bahkan diajarkan mulai dari kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Semangat untuk menghadapi globalisasi ini tertuang dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, bahwa salah satu tujuan diajarkannya bahasa Inggris di SD adalah agar peserta didik memiliki kesadaran tentang hakikat dan pentingnya bahasa Inggris untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam masyarakat global.  
                  Namun anehnya saat ini pemerintah malah berencana menghapus bahasa Inggris di SD pada tahun 2013 mendatang. Pemerintah beralasan bahwa penghapusan ini dilakukan untuk memberi waktu para siswa SD agar mempelajari Bahasa Indonesia sebelum belajar bahasa asing. (Koran PR, 19/10/2012).
                  Ada beberapa catatan yang layak dikemukakan untuk menyikapi rencana pemerintah menghapus mata pelajaran bahasa Inggris di SD. Pertama, pendidikan bahasa Inggris di SD dimaksudkan agar para siswa siap belajar bahasa Inggris di tingkat SMP. Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan berinteraksi dalam bahasa Inggris untuk menunjang kegiatan kelas dan sekolah. Dengan diajarkannya bahasa Inggris di SD, peserta didik tidak akan “kaget” ketika belajar bahasa Inggris di SMP.
                  Kedua, menyiapkan peserta didik yang mampu bersaing secara internasional. Dengan demikian bahasa tidak akan menjadi kendala ketika peserta didik mengikuti event internasional. Kemampuan ilmu pengetahuan peserta didik SD dari Indonesia tidak kalah dengan peserta didik dari negara lain. Namun banyak peserta didik SD dari Indonesia yang terpaksa gagal mengikuti perlombaan tingkat internasional hanya karena kendala bahasa.  
                  Ketiga, para stakeholder di level pengambil kebijakan sepertinya tidak mempunyai road map yang jelas, khususnya tentang akselerasi penguasaan bahasa Inggris rakyat Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya dua hal yaitu (1) pada Permendiknas No. 22 Tahun 2006 bahasa Inggris di SD termasuk dalam pelajaran mulok. Sebaiknya sekarang diperkuat menjadi mata pelajaran wajib, bukan malah dihapus. (2) banyak guru bahasa Inggris di SD yang masuk Kategori II. Artinya saat ini mereka sedang berharap untuk diangkat menjadi CPNS. Jika mata pelajaran bahasa Inggris di SD dihapus, bagaimana nasib mereka?
                  Keempat, negara-negara jiran seperti Malaysia, Filipina dan Singapura menggunakan bahasa Inggris sebagai Medium of Instruction di sekolah dan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa nasional mereka. Jika Indonesia malah menghapus pelajaran bahasa Inggris di SD, maka jangankan mampu bersaing di level internasional, di level regional saja akan sulit.
                  Kelima, dengan diajarkannya bahasa Inggris di SD, tidak akan mematikan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Justru bahasa Inggris bisa dijadikan sebagai promotion tools. Sebagai contoh, para seniman yang hendak mempromosikan budaya sunda di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat tentu dituntut untuk menguasai bahasa Inggris. Jadi, kekayaan budaya Indonesia termasuk bahasanya dapat mendunia jika bangsa ini mampu menguasai bahasa Inggris. (*)
*)         Penulis: Guru SDN Sukaslamet III Kec. Kroya Kab. Indramayu.