Mungkinkah Model Pembelajaran Kooperatif diterapkan di SD “Kampung” ???

Jawabannya : SANGAT MUNGKIN. Karena saya sendiri telah membuktikannya. Kebetulan memang SD tempat saya bertugas termasuk MEWAH (Mepet dekat Sawah dan Hutan Happy). Malah jalan ke SD saya rusak. Jika sidang pembaca tidak percaya, silakan lihat tulisan saya tentang kondisi jalan ke tempat saya bertugas KLIK DISINI.



Saat ini banyak diantara pendidik yang belum memahami dengan benar apa itu pembelajaran kooperatif. Ada yang memahami bahwa pembelajaran kooperatif itu hanya untuk SD-SD di kota yang sarana nya sudah mendukung untuk diterapkannya pembelajaran kooperatif. Ada lagi yang menganggap bahwa pembelajaran kooperatif tidak ubahnya dengan kerja kelompok atau sama dengan metode diskusi. Dan macam-macam lagi anggapan yang kesemuanya mengindikasikan kurangnya pemahaman mayoritas pendidik tentang hakikat sebenarnya dari pembelajaran kooperatif.

Padahal pembelajaran kooperatif yang arti harfiahnya “kerjasama” bukan monopoli SD-SD yang ada di kota saja, tetapi SD-SD di kampung juga memiliki “hak prerogatif” untuk menerapkannya, tentunya disesuaikan dengan kondisi sekolah, misalnya reward yang disiapkan untuk kelompok juara janganlah yang berharga mahal. Kemudian pembelajaran kooperatif juga tidak sama dengan kerja kelompok ataupun metode diskusi, meskipun memang siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok. Karena pembelajaran kooperatif mencakup beberapa pertemuan untuk menuntaskan satu “babak”. kemudian ada pengumpulan poin dari tiap kelompok dan untuk itulah maka dihadirkanlah penghargaan.

Paling tidak ada empat prinsip pembelajaran kooperatif jika kita ingin menerapkannya, yaitu (dikutip dari Robert. E. Slavin, Cooperative Learning, 2009) :

  1. Terjadinya saling ketergantungan secara positif (positive interdependence). Siswa berkelompok, saling bekerja sama dan mereka menyadari bahwa meraka saling membutuhkan satu sama lain.
  2. Terbentuknya tanggung jawab personal (individual accountability). Setiap anggota kelompok merasa bertanggung jawab untuk belajar dan mengemukakan pendapatnya sebagai sumbang saran dalam kelompok.
  3. Terjadinya keseimbangan dan keputusan bersama dalam kelompok (equal participation). Dalam kelompok tidak hanya seorang atau orang tertentu saja yang berperan, melainkan ada  keseimbangan antarpersonal dalam kelompok.
  4. Interaksi menyeluruh (simultaneous interaction). Setiap anggota kelompok memiliki tugas masing-masing secara proporsional dan secara simultan mengerjakan tugas atau menjawab pertanyaan.

Pembelajaran kooperatif turut menambah unsur-unsur interaksi  sosial pada pembelajaran. Di dalam  pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 6 siswa, dengan kemampuan yang heterogen.  Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan pendapat dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya.  Pada  pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerjasama di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, memberikan penjelasan kepada teman sekelompok dengan baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan.  Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan.

“Ala kulli hal, membahas pembelajaran kooperatif tidak akan cukup dalam satu artikel,apalagi artikel saya kali ini memang dikhususkan untuk menepis anggapan bahwa pembelajaran kooperatif itu sulit untuk diterapkan dengan alasan minimnya sarana dan sumber daya.