Bolehkah Merekam Hubungan Suami Istri?

Soal:

Bagaimana hukum merekam hubungan suami-istri dengan menggunakan kamera? Bagaimana hukum memberitakan dan menyebarkannya sehingga bisa ditonton orang lain? Bagaimana pula hukum men-download, menkopi dan menggandakannya?

Jawab:

Masalah ini kini sedang ramai menjadi pembicaraan kaum Muslim, dan bala’ dari perbuatan tersebut telah menimpa mereka, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Karena itu, wajib dijelaskan hukumnya menurut syariah Islam.

Islam telah menetapkan bahwa hubungan badan hanya boleh dilakukan antara seorang laki-laki dengan isteri dan budaknya (lihat QS al-Muminun [24]: 5-7). Selain itu, syara’ juga telah menetapkan batas-batas aurat yang harus dijaga kecuali di antara mereka. Bagi suami-istri, masing-masing diperbolehkan melihat seluruh bagian tubuh pasangannya. Bahz ibn Hakîm telah meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, kakeknya berkata:



قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِى مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ « احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ »

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah  SAW, manakah bagian aurat kami yang harus kami tutupi dan mana yang boleh kami biarkan?” lalu Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Jagalah auratmu, kecuali dari istrimu atau hamba sahaya perempuanmu.” (HR Abu Dawud).

Mesikupun demikian, Islam mengharamkan menceritakan aurat pasangannya dan perihal hubungan badan itu kepada orang lain. Dalam Hadits riwayat Muslim, Nabi saw bersabda:

«إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا»

Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada Hari Kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahasia istrinya (HR Muslim dari Abi Said al-Khudri).[1]

Keharaman menceritakan tersebut termasuk keharaman suami yang mempunyai dua istri atau lebih, yakni hubungan badan suami-istri dengan istri satu disampaikan kepada istri yang lain.

Berdasarkan nas-nas di atas, maka keharaman hukum menceritakan tersebut termasuk keharaman merekam adegan ranjang untuk disebarkan, agar bisa ditonton orang lain. Dengan keras Nabi saw. menggambarkan mereka seperti setan:

«هَلْ تَدْرُونَ مَا مَثَلُ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّمَا مَثَلُ ذَلِكَ مَثَلُ شَيْطَانَةٍ لَقِيَتْ شَيْطَانًا فِي السِّكَّةِ فَقَضَى مِنْهَا حَاجَتَهُ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ»

“Tahukah apa permisalan seperti itu?” Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya permisalan hal tersebut adalah seperti setan wanita yang bertemu dengan setan laki-laki di sebuah gang, kemudian setan laki-laki tersebut menunaikan hajatnya (bersetubuh) dengan setan perempuan, sementara orang-orang melihat kepadanya.” (HR Abu Dawud).[2]

Adapun merekam adegan hubungan badan seperti itu untuk keperluan sendiri, termasuk perbuatan sia-sia dan tidak ada gunanya, yang sebaiknya ditinggalkan:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ» [رواه ابن ماجه]

“Tanda dari baiknya keIslaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.” (Hr Ibn Majah)[1]

Lebih dari itu, jika hasil rekaman tersebut lalu disimpan, maka dapat menjadi wasilah yang mengantarkan kepada perbuatan haram. Sebab, siapa yang dapat menjamin rekaman itu tidak jatuh kepada orang lain? Dalam hal ini, dapat diterapkan kaidah syara’:

اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ

“Sarana yang bisa mengantarkan kepada keharaman, maka hukumnya jelas-jelas diharamkan.”

Adapun hukum memberitakan dan memperbincangkan peristiwa seperti ini juga diharamkan, karena termasuk menyebarkan perbuatan maksiat. Nabi saw. dengan tegas menyatakan:

«كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ»

Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang menampak-nampakkannya dan sesungguhnya di antara bentuk menampak-nampakkan (dosa) adalah seorang hamba yang melakukan perbuatan pada waktu malam, sementara Allah telah menutupinya, kemudian pada waktu pagi dia berkata, “Wahai fulan, semalam aku telah melakukan ini dan itu.” Padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah (Muttafaq ‘alayh).[3]

Karena itu, hendaknya seorang Muslim menjaga lisannya dari membicarakan perbuatan maksiat orang-orang seperti mereka (mujahirin), bukan untuk menutup aib mereka, tetapi agar tidak terlibat dalam menyebarkan perbuatan keji maksiat mereka di tengah-tengah orang Mukmin. Juga termasuk menjaga lisan dan pikiran dari perkara-perkara yang sia-sia, kecuali untuk menjelaskan hukumnya, agar umat tidak melakukan kemaksiatan serupa.

Karena seluruh perbuatan di atas diharamkan, maka men-download, mengkopi dan menyebarkannya–meski yang disebarkan adalah madaniyyah (produk materi/bukan pemikiran), tetapi karena madaniyyah ini terkait dengan hadharah kapitalis , dan isinya diharamkan oleh Islam–jelas hukumnya haram. Wallâhu a’lam. [Hafid Abdurrahman ]

Catatan kaki:


[1] Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadits no 3966.


[1] Imam Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2597.

[2] Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadis no. 1859.

[3] Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadis no. 560; Imam Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 5306.