Oleh : Sesep
Ferdiansyah Syaiful Hijrah, S.Pd.
(Ini adalah koleksi tulisan lama saya)
Tawuran
pelajar yang makin marak saat ini telah berada pada titik nadir. Bukan saja
karena timbulnya korban jiwa, melainkan pada intensitas yang makin rapat. Dan
jika dulu tawuran hanya dilakukan siswa dari sekolah-sekolah “pinggiran”,
sekarang justru dilakukan oleh sekolah elite
bahkan bertitel RSBI. Ini mengindikasikan bahwa radikalisme anak telah merata
dan tersebar luas di negeri yang katanya cinta damai ini.
Para
ahli sepakat bahwa salah satu penyebab maraknya radikalisme anak adalah karena
kurangnya pendidikan agama, baik di rumah, sekolah, maupun lingkungan
masyarakat. Hal ini antara lain disampaikan oleh pakar pendidikan Arief Rachman
dalam sebuah seminar di Jakarta baru-baru ini. Ada pula sebagian kalangan yang menunjuk
pada kurangnya jam pendidikan agama di sekolah sebagai salah satu unsur utama
penyebab tawuran, sehingga kurikulum yang berlaku sekarang mesti diubah.
Tak
dapat dipungkiri bahwa agama memang menjadi obat mujarab bagi radikalisme anak.
Namun yang menjadi masalah adalah kurangnya pengajaran agama di sekolah
disebabkan jam pelajaran yang sangat terbatas. Pun begitu pula di rumah,
kesibukan orang tua menyebabkan mereka lalai mendidik anaknya. Apalagi di
masyarakat, iklim permisif dan hedonis menyebabkan lingkungan tak dapat begitu
saja menjadi tumpuan harapan dalam mengajarkan agama pada anak.
Menunggu
kurikulum dirubah agar menambah jam pelajaran agama ibarat pungguk merindukan
bulan, karena prosesnya sangat panjang. Sedangkan mengandalkan pengajaran agama
pada jam pelajaran agama yang dialokasikan saat ini berarti “memperpanjang masa
berlaku” radikalisme pelajar. Maka yang bisa dilakukan oleh para pendidik saat
ini adalah “menghadirkan Tuhan” pada setiap mata pelajaran. Dengan kata lain
mengintegrasikan pelajaran agama dengan mata pelajaran lain. Hal ini
diniscayakan sebab pada dasarnya seluruh mata pelajaran dapat dikaitkan dengan
agama.
Saat
ini kita selaku pendidik sering alfa dalam meniupkan “ruh” agama di mata
pelajaran “non agama”. Inilah sekularisasi pendidikan, yang telah berhasil melahirkan
generasi cemerlang dalam ilmu pengetahuan (baca: sains dan ilmu sosial) tetapi
jiwanya gersang tanpa kompas kehidupan yang akan memberi arah ke jalan yang
benar. Alhasil telah jamak kita saksikan generasi yang ketika masih jadi
pelajar doyan tawuran dan maksiat, dan ketika dewasa—apalagi ketika mendapat
amanah jabatan—doyan mengkorupsi uang rakyat.
Mengintegrasikan agama pada setiap mata
pelajaran berarti merubah paradigma Value
Free (bebas nilai) pada ilmu pengetahuan. Paradigma ini mengharuskan ilmu
pengetahuan “dibebaskan” dari ikatan agama. Justru saatnya para pendidik menjelaskan
kaitan antara agama dengan setiap sub topik mata pelajaran. Konsep akhlak pun
dapat diselipkan pada pelajaran IPA, IPS bahkan Pendidikan Jasmani. Para
pendidik dituntut kreatif menyisipkan pesan moral pada setiap mata pelajaran
yang diampunya. Pesan tersebut disampaikan sesuai konteks pelajaran yang sedang
diajarkan. Hal ini justru akan lebih mudah diserap oleh siswa karena sejatinya
pembelajaran kontekstual akan mempermudah pemahaman daripada sekedar
pembelajaran verbalisme.
Memang tidak mudah mencari keterkaitan antara
agama atau akhlak dengan mata pelajaran yang selama ini dipersepsikan “jauh”
dari agama. Mungkin hal ini akan lebih melelahkan daripada sekedar menjelaskan
pelajaran thok tanpa harus memikirkan
kaitannya dengan agama dan bagaimana menyisipkan pesan moral. Tapi yakinlah
bahwa ini mesti kita lakukan mulai dari sekarang, selain karena memang ini kewajiban
kita tetapi juga demi tumbuhnya generasi cerdas sekaligus bertakwa. Semoga.
(*)
*) Penulis: Guru SDN Sukaslamet III Kec.
Kroya Kab. Indramayu.