MERDEKA!!!!

image Ada yang istimewa pada peringatan kemerdekaan tahun ini. Bukan saja karena terjadi di bulan Ramadhan, tetapi yang paling istimewa adalah peringatan kemerdekaan tahun ini bertepatan dengan Nuzulul Qur’an, hari pertama diturunkannya Al-Qur’an. Tak terasa sudah 66 tahun (68 tahun hijriyah - proklamasi pada tanggal 9 Ramadhan 1364 H) negeri ini menghirup udara kemerdekaan sejak proklamasi “kemerdekaan” dibacakan. Saat ini memang tak ada lagi Belanda atau Jepang yang menjadi penguasa dan pemerintah negeri ini. Namun, kita patut bertanya: Sudahkah rakyat dan bangsa ini benar-benar merdeka dalam pengertian yang sesungguhnya?



Baru Sebatas Kemerdekaan Semu

Seharusnya dengan ‘umur kemerdekaan’ yang sudah 66 tahun (atau 68 tahun hijriyah), idealnya bangsa ini telah banyak meraih impiannya. Apalagi segala potensi dan sumber daya untuk itu dimiliki oleh bangsa ini. Sayang, fakta lebih kuat berbicara, bahwa negeri ini belum merdeka dari keterjajahan pemikiran, politik, ekonomi, hukum, budaya, dll. Bangsa ini belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan, kerusakan moral dan keterbelakangan. Perubahan nasib rakyat negeri ini ke arah yang lebih baik -antara lain rakyat menjadi sejahtera, adil dan makmur- sebagai cita-cita kemerdekaan masih jauh panggang dari api.

Buktinya, angka kemiskinan di negeri ini masih tetap tinggi. Dari 237 juta lebih penduduk negeri ini,menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) masih ada 31,02 juta jiwa yang terkategori miskin, yaitu yang pengeluarannya kurang dari Rp 211.726,-/bulan atau Rp 7 ribu/hari. Padahal jumlah itu hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi dengan lauk yang ala kadarnya.

Sungguh ironis, meski sudah puluhan tahun merdeka, negeri yang kaya ini, jutaan penduduknya masih terus dililit problem kemiskinan. Satu masalah yang sering kali membuat orang memilih untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri karena tak kuasa menghadapi tekanan kemiskinan. Adalah pasangan Kaepi (41) dan Yati Suryati (31) warga kelurahan Bekasi Jaya kecamatan Bekasi Timur kota Bekasi yang pada Sabtu (13/8) memilih gantung diri diduga akibat tekanan kemiskinan (Kompas, 15/8). Itu seolah mengulang apa yang dilakukan pasangan Samad (45) dan Titik (40) warga desa Sirnajaya, kec. Serang Baru, kab. Bekasi pada 12 Mei 2007 lalu juga akibat himpitan kemiskinan. Jumlah kasus yang sama diperkirakan sangat banyak. Mengingat WHO pada tahun 2005 melansir, sekitar 50.000 orang Indonesia bunuh diri setiap tahun, atau 1.500 orang perhari (Kompas, 15/8).

Angka pengangguran juga masih tinggi. Menurut Kepala BPS Rusman Heriawan, angka pe­ng­angguran Indonesia pada Feb­ruari 2011 mencapai 8,1 juta orang atau 6,8 % dari total angkatan kerja 119,4 juta orang (Rakyatmerdekaonline, 6/5). Angka yang digunakan BPS itu tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan riil di masyarakat. Karena faktanya pekerja dengan penghasilan minim dan pekerja dengan jumlah jam kerja di bawah standar tidak dianggap sebagai pengangguran. LIPI mencatat jumlah orang yang yang setengah menganggur yaitu yang bekerja kurang dair 35 jam perminggu pada tahun 2010 mencapai 32,8 juta orang. Pada tahun 2011diperkirakan meningkat menjadi 34,32 juta orang.

Negeri ini pun masih dibelenggu kebodohan. Mengutip data Kemendikas pada 2010, ketua PA Arist Merdeka Sirait menyebutkan, masih terdapat 11,7 juta anak usia sekolah yang belum tersentuh pendidikan (Republika, 25/7). Dan diperkirakan 4,7 juta siswa SD dan SMP yang tergolong miskin terancam putus sekolah (Republika, 26/7). Itu artinya setelah 66 tahun merdeka masih ada hampir 16 juta anak yang tidak bisa merasakan pendidikan sampai SMP.

Rakyat pun terus dihadapkan pada harga-harga kebutuhan pokok yang liar tak terkendali, biaya hidup termasuk biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi, dll. Rakyat yang berharap pemerintahnya bisa melepaskan mereka dari beban yang dihadapi nyatanya terpaksa gigit jari. Pasalnya pemerintahnya acap kali terlihat hanya mementingkan pencitraan diri. Lebih parah lagi, tak jarang efektifitas program dan penggunaan anggaran kecil sekali. Ambil contoh, penggunaan anggaran kemiskinan yang terus meningkat tiap tahun -Rp 51 triliun (2007), Rp 63 triliun (2008), Rp 66,2 triliun (2009), Rp 80,1 triliun (2010) dan Rp 86,1 triliun (2011)-. Menurut perhitungan P2E LIPI efektifitas penggunaan anggaran itu kecil sekali untuk menurunkan kemiskinan. Bayangkan, untuk penurunan satu orang miskin pada 2007 diperlukan biaya Rp 19,8 juta, 2008 Rp 23,2 juta, 2009 Rp 24,9 juta dan tahun 2010 Rp 47 juta (lihat, Bisnis Indonesia, 15/1/11).

Tak ketinggalan, APBN yang 80% bersumber dari pajak rakyat, sebagian besarnya justru tidak kembali kepada rakyat. Pasalnya, sebagian dirampok oleh para koruptor, sebagian untuk membayar utang dan bunganya yang bisa mencapai 20 % dari APBN, dan sebagian lagi untuk membiayai kebijakan yang tidak pro-rakyat. Menurut data Kompas (15/8) belanja pegawai pusat dan daerah memakan porsi sangat besar, yakni sekitar 60 % dari total volume APBN dan APBD, sementara untuk subsidi hanya sekitar 14 % dan untuk belanja pembangunan hanya sekitar 12 %.

Masih Terjajah

Jika kita mau jujur, akar masalah dari semua persoalan di atas ada pada sistem kehidupan yang dipakai oleh Indonesia. Selama 66 tahun “merdeka” negeri ini mengadopsi sistem sekuler kapitalis demokrasi. Demokrasi pada akhirnya hanya menjadi topeng penjajahan baru atas negeri ini. Pasalnya, melalui sistem dan proses demokrasilah lahir banyak UU dan kebijakan yang justru menimbulkan keterjajahan rakyat di negeri ini. UU KHUP masih warisan penjajah. UU SDA sangat liberal. Demikian pula UU Migas, UU Minerba, UU Kelistrikan, UU Pendidikan, UU Kesehatan dan banyak lagi UU lainnya. Sebagian besar UU yang ada bukan saja tak berpihak kepada rakyat, bahkan banyak yang menzalimi rakyat. Pasalnya, melalui sejumlah UU itulah, sebagian besar sumberdaya alam milik rakyat saat ini justru dikuasai pihak asing. Contoh, sekitar 90 % kekayaan migas (minyak dan gas), lebih dari 75% kekayaan tambang, 50% lebih perbankan, dan sektor lainnya di negeri ini dikuasai oleh asing. Jika salah satu esensi penjajahan adalah pengerukan kekayaan negeri terjajah untuk dialirkan ke penjajah maka itu bisa dilihat nyata hari ini dan celakanya difasilitasi oleh UU produk politik demokrasi. Pasal 8 ayat 3 UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal menyatakan, “Penanam modal diberi hak melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing“, praktis tidak ada yang tak boleh ditransfer kembali ke negara asal. Dan pasal 12 menyatakan, “semua bidang atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali produksi senjata dan idang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan UU ini“.

Jelas, rakyat negeri ini sesungguhnya masih terjajah oleh negara-negara asing lewat tangan-tangan para pengkhianat di negeri ini. Mereka adalah para komprador lokal yang terdiri dari para penguasa, politikus, wakil rakyat dan intelektual yang lebih loyal pada kepentingan asing karena syahwat kekuasaan dan kebutuhan pragmatisnya. Akibatnya, rakyat sengsara di negerinya sendiri yang amat kaya. Mereka terjajah oleh asing dan para pemimpinnya sendiri yang menjadi antek-antek kepentingan negara penjajah.

Akar masalah semua itu karena diadopsinya sistem kapitalisme demokrasi yang bersumber dari manusia seraya meninggalkan sistem dan hukum yang dibawa oleh Nabi saw di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Akibatnya, negeri ini masih terjajah dan didera berbagai penderitaan, keterpurukan, keterbelakangan, dsb. Itulah cerminan kehidupan yang sempit yang telah diperingatkan oleh Allah SWT dalam firmanNya:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (QS Thaha [20]:124)

Imam Ibn Katsir menjelaskan, “man a’radha ‘an dzikriy” yaitu menyalahi perintahku dan apa yang Aku turunkan kepada rasul-Ku, berpaling darinya dan pura-pura lupa terhadapnya serta mengambil petunjuk dari selainnya (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm).

Terapkan Al-Quran Raih Kemerdekaan Hakiki

Nyatalah, negeri ini masih belum merdeka secara hakiki. Tak lain dikarenakan berpaling dari petunjuk Allah yang ada di dalam al-Quran dan as-Sunnah dan berpaling dari Sistem Islam; dan sebaliknya mengambil sistem sekuler kapitalis demokrasi sebagai petunjuk dan sistem untuk mengatur kehidupan. Akibatnya, berbagai bentuk kerusakan (fasad) melanda negeri ini. Negeri ini pun tak bisa lepas dari penjajahan, eksploitasi dan kontrol dari penjajah.

Maka Allah mengingatkan

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS ar-Rum [30]: 41)

Tidak lain adalah dengan kembali merujuk kepada al-Quran dan menjadikannya petunjuk. Sungguh di dalam al-Quran yang sedang kita peringati turunnya, memang diturunkan sebagai hudan (petunjuk), bayyinat minal huda (penjelas atas petunjuk itu) dan furqan (pembeda antara yang haq dan yang bathil, antara yang benar dan yang salah, antara yang halal dan haram, antara yang diridhai Allah dan yang Dia murkai, dan antara yang memberikan kebaikan dan yang memberikan keburukan). Hal itu tidak lain dengan jalan menerapkan hukum-hukumnya yaitu syariah Islam secara total dalam bingkai sistem Islam, al-Khilafah ar-Rasyidah. Dengan itu niscaya kerahmatan akan menjadi riil dan kemerdekaan yang hakiki akan terwujud. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.