Hukum Wanita Jadi Imam Sholat Jum’at

Hari ini di Oxford, Inggris barat, digelar sholat Jumat dengan khotib dan imam seorang penulis perempuan asal Kanada, Raheel Raza. Penyelenggara sholat Jumat ini, Dr Taj Hargey dari Pusat Pendidikan Muslim di Oxford mengatakan tidak ada larangan bagi wanita untuk menjadi imam sholat dengan jemaah laki-laki dan perempuan. “Al Quran juga tidak melarang wanita menjadi imam salat. Quran sangat memuji sosok wanita seperti Mariam, ibu Nabi Isa,” kata Hargey. Pada zaman Nabi Muhammad, katanya, pernah terjadi di mana seorang wanita bernama Ummu Waraqah, diberi izin oleh Nabi untuk memimpin salat di perkampungannya. “Jadi, tidak ada halangan bagi wanita untuk memimpin salat, dengan syarat dia memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan dia wanita salihah,” tambah Dr Hargey.



Akan tetapi, kalangan ulama mainstream di dalam Islam menolak adanya pembenaran yang bersumberkan hadis seperti diutarakan Dr Hargey. Dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Bandung, Dr Daud Rasyid MA, mengatakan riwayat tentang Ummu Waraqah yang menjadi imam sholat tidak dapat dijadikan dasar untuk membolehkan perempuan menjadi imam di tempat terbuka seperti masjid. Sebab, kata Daud Rasyid, yang sholat yang dilakukan Ummu Waraqah itu sangat privat sifatnya. “Dia melakukan itu di rumahnya bersama anak-anaknya sendiri sebagai makmum,” ujar Dr Daud. Menurut dosen lulusan Univeristas Kairo, Mesirini, tindakan seorang perempuan menjadi imam sholat bagi laki-laki dan perempuan di ruang terbuka, oleh mayoritas besar ulama disebut sebagai ‘bidah munkarah’ (hal yang dibuat-buat). (bbc: detik.com Jumat, 11/06/2010 05:33 WIB)

Tanggapan :

Soal: Bagaimana hukum wanita menjadi mu’adzin, imam, khatib shalat Jum’at yang dilakukan di gereja?

Jawab: Pertanyaan ini muncul berkaitan dengan kasus Amina Wadud, profesor filsafat wanita asal Afrika yang menjadi guru besar di Amerika, dengan beberapa orang, baik kaum pria maupun wanita, yang mengadakan shalat Jum’at di gereja. Dalam konteks ini, ada dua mindframe yang harus dipisahkan secara tegas, yaitu: hukum dan logika feminisme.

Dalam konteks hukum, kasus diperbolehkannya imâmah wanita bagi kaum pria, sebagaimana yang dijadikan alasan kelompok tersebut adalah hadits Ummu Waraqah, yang menyatakan:

Dan beliau (Nabi Saw) mengizinkannya untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya. [HR. Abû Dâwud].

Yang dalam riwayat tersebut juga dinyatakan, bahwa di sana terdapat kaum pria, yang oleh ‘Abdurrahman, salah seorang perawi hadits tersebut dinyatakan sebagai syaikh ‘ajûz (lelaki tua renta), yang sekaligus menjadi mu’adzinnya.*1)

Hadits yang bersifat umum ini kemudian digunakan oleh kelompok ini, tanpa mengindahkan hadits-hadits lain. Padahal, ada hadits lain dengan redaksi yang sama, menyatakan:

Dan beliau (Nabi Saw) mengizinkannya untuk menjadi imam bagi kaum wanita penghuni rumahnya. [HR. ad-Daruquthni].

Disamping itu, juga ada hadits lain yang secara umum melarang wanita menjadi imam kaum pria:

Hendaknya tidak sekali-kali wanita menjadi imam bagi seorang lelaki. [HR. Ibn Majah].*2)

Sementara kaidah usul menyatakan: i’mâl ad-dalîlayn awlâ min ihmâl ahadihimâ (menggunakan dua dalil, lebih baik ketimbang mengabaikan salah satunya), yang berarti semua dalil tersebut -sepanjang semuanya sahih- harus digunakan. Selama masih diakomodir semuanya, maka cara tersebut wajib dilakukan.

Karena itu, dapat disimpulkan, bahwa hadits yang ketiga: Lâ taummanna al-mar’atu rajulan adalah hadits yang secara umum menyatakan larangan wanita menjadi imam shalat bagi kaum pria, baik di rumah maupun di masjid, termasuk untuk shalat sunah maupun wajib. Dalil umum seperti ini tetap berlaku dengan keumumannya, selama tidak ada dalil yang mengecualikannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam kaidah usul: al-‘umûm yabqâ bi ‘umûmihi, mâ lam yarid dalîl at-takhshîsh.

Masalahnya, apakah hadits yang pertama: wa adzina lahâ an taumma ahla dârihâ tadi bisa dijadikan sebagai mukhashshish (yang memberi kekhususan), yang berarti dalam konteks wanita menjadi imam di dalam rumah, untuk penghuni rumahnya, menjadi boleh. Karena dalil tersebut mengecualikan dari keumuman larangan hadits sebelumnya? Jawabannya tidak. Sebab, jika ini dijadikan sebagai mukhashshish, maka hadits ini akan bertentangan dengan hadits: wa adzina lahâ an taumma nisâ’a ahli dârihâ tadi. Sedangkan hadits ini juga sahih, harus digunakan, dan tidak boleh diabaikan.

Sementara hadits ini wa adzina lahâ an taumma nisâ’a ahli dârihâ ini isinya tidak bertentangan dengan hadits yang secara umum melarang wanita menjadi imam kaum pria, karena hadits yang terakhir ini justru menegaskan, bahwa izin yang diberikan oleh Rasulullah kepada Ummu Waraqah dalam konteks imamah shalat tadi hanya berlaku untuk imamah bagi sesama wanita, bukan yang lain. Inilah yang juga dikuatkan oleh Ibn Qudamah dalam al-Mughni-nya.*3)

Adapun adanya riwayat ‘Abdurrahman yang menyatakan adanya syaikh ‘ajûz (lelaki tua renta) sebagai mu’adzinnya, tidak berarti lelaki itu juga menjadi makmum Ummu Waraqah. Pertama, harus dipahami bahwa justru karena ada hadits yang melarang wanita menjadi mu’adzin, maka syaikh ‘ajûz tadilah yang kemudian menjadi mu’adzin. Karena wanita juga dilarang menjadi mu’adzin bagi kaum pria.*4)

Kedua, tidak adanya riwayat yang mendukung bahwa lelaki tadi juga menjadi makmum Ummu Waraqah, sebaliknya hadits Nabi justru menyatakan: wa adzina lahâ an taumma nisâ’a ahli dârihâ, bahwa izin imamah shalat bagi Ummu Waraqah tersebut hanya diberikan untuk mengimami kaum wanitanya, sementara terhadap kaum prianya tidak.

Memang, dengan logika yang sama, yaitu sama-sama menggunakan hadits yang pertama, wa adzina lahâ an taumma ahla dârihâ tadi, ada sebagian fuqaha’ yang membolehkan wanita menjadi imam bagi kaum pria. Sebut saja, para pengikut madzhab Hanbali, yang oleh Ibn Qudamah -dalam kitab al-Mughni-nya- disebut dengan istilah: ashhâbunâ. Sekalipun, sekali lagi, pendapat ini kemudian dilemahkan oleh Ibn Qudamah sendiri.*5) Hanya saja, sebagaimana yang menjadi pendapat Ibn Qudamah, pendapat kelompok ini lemah, karena hanya menggunakan satu dalil yang bersifat umum, dengan mengabaikan dalil-dalil lain.

Dengan demikian jelas, bahwa pendapat yang menyatakan kebolehan wanita menjadi mu’adzin dan imam shalat bagi kaum pria merupakan pendapat yang lemah, dan tidak bisa digunakan sebagai pijakan.

Mengenai hukum wanita menjadi khatib Jum’at, secara umum harus dikembalikan kepada status hukum shalat Jum’at itu sendiri bagi kaum wanita. Bagi wanita, shalat Jum’at jelas tidak wajib, dimana kewajiban tersebut telah ditetapkan oleh Islam hanya untuk kaum pria. Nabi bersabda:

Jum’at itu merupakan hak yang diwajibkan kepada setiap Muslim dalam suatu jamaah, kecuali terhadap empat orang: budak yang dimiliki (tuannya), kaum wanita, anak-anak, atau orang yang sakit. [HR. Abû Dâwud].

Sementara hukum khutbah dalam shalat Jum’at merupakan salah satu rukun, yang telah disepakati kewajibannya oleh para fuqaha’. Ini berdasarkan firman Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah. (Qs. al-Jum’uah [62]: 9).

Pernyataan: fas’aw ila dzikri-Llah (bersegeralah kamu kepada mengingat Allah) menunjukkan adanya kewajiban untuk mengingat Allah melalui mau’idhah imam (khatib).*6) Umumnya, para fuqaha’ mengaitkan status khatib dengan imamah shalat Jum’at. Artinya, orang yang layak menjadi imam shalat Jum’at, dialah yang juga layak menjadi khatib. Karenanya, ketentuan siapa yang layak boleh dan tidak menjadi khatib; apakah wanita boleh atau tidak? Tentu harus dikembalikan pada ketentuan hukum syara’ tentang imamah shalat Jum’at tadi. Nah, ketentuan imamah shalat di atas secara lugas menyatakan, bahwa hanya kaum prialah yang diperbolehkan menjadi imam dalam konteks shalat fardhu, yang nota bene seluruh jamaahnya adalah kaum pria, karena memang shalat jamaah Jum’at tersebut hanya wajib bagi kaum pria. Disamping itu, sebagai bentuk ibadah mahdhah, khutbah dan imamah kaum wanita dalam konteks seperti ini belum ada sejarahnya, atau ahistoris, mengada-ada, alias bid’ah.

Mengenai shalat, termasuk shalat Jum’at di gereja, para ulama’ berbeda pendapat. Intinya, ada yang menyatakan makruh dan tidak. Di kalangan ulama’ salaf ada Ibn ‘Abbas, al-Hasan al-Bashri, as-Sya’bi dan sejumlah nama lain. Mereka menyatakan makruh, dengan catatan jika di gereja tersebut ada gambar salib, patung dan lain-lain yang memang tidak boleh ada dalam tempat ibadah. Ada juga yang memakruhkan, karena dianggap bahwa gereja merupakan tempat syaitan. Tetapi, ada juga pendapat yang menyatakan tidak makruh. Alasannya, karena Rasulullah Saw pernah shalat di Ka’bah, sementara di sana bergelantungan berhala-berhala kaum Musyrik Makkah.*7)

Inilah secara umum, sejumlah persoalan tadi dilihat dari mindframe hukum. Tetapi, jika kita melihat kasus Amina Wadud di atas, sebenarnya bukan persoalan yang dibangun berdasarkan mindframe hukum, tetapi lebih karena logika feminisme. Karena, tidak ada ceritanya pria dan wanita shalat dalam shaf yang sama, bercampur baur. Termasuk, wanita shalat, sementara auratnya terbuka. Artinya, jika pertimbangannya karena pertimbangan hukum, tentu tatanan hukum Islam tidak dijungkirbalikkan seperti itu. Jadi, sekali lagi, semangat aksi tersebut bukan hendak mempraktekkan Islam, seberapapun kecil dan kelamahan argumentasinya. Namun, yang terjadi adalah mempertontonkan arogansi feminisme, dengan menjadikan ide feminisme sebagai sumber dan logika hukum. Maka, akibatnya sudah bisa ditebak. Paradigma dan hukum Islam -betatapun lemahnya- akhirnya toh tetap tidak dijadikan rujukan, bahkan justru dijungkirbalikkan. Islam, jika kemudian masih dipakai, seperti shalat Jum’at dan lain-lain, tidak lebih hanyalah justifikasi dari gagasan dan tradisi Jahiliyah mereka. Inikah yang hendak ditiru oleh kaum Muslim? Na’udzubillah. [Hafizd Abdurrahman]

Daftar Rujukan:

1. Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, juz I, 356.

2. Ibn Qudamah, al-Kafi fi Fiqh Ibn Hanbal, juz I, hal. 184.

3. Ibn Qudamah, al-Mughni, juz II, hal. 17.

4. Ibn Qudamah, al-Kafi fi Fiqh Ibn Hanbal, juz I, hal. 184. al-Bayhaqi, Sunan al-Kubra, juz I, hal. 408. Dalam hal ini, beliau membuat bab: La tu’adzdzina al-Mar’tu li ar-rijal. Khusus kasus adzan, memang ada dua pendapat: Ada yang membolehkan, seperti pendapat as-Syafi’i dan al-Buwaithi, dengan syarat suaranya tidak dikeraskan; dan dan pendapat yang menyatakan tidak sah, sebagaimana pendapat jumhur. Sementara, dalam kitab Mawahib al-Jalil, dinyatakan hukumnya haram. Lihat, an-Nawawi, al-Majmu’, juz III, hal. 103; ‘Abdurrahman al-Maghribi, Mawahib al-Jalil, juz I, hal. 451.

5. Ibid, juz II, hal. 16-17.

6. Ini merupakan pendapat Ibn al-Musayyib. Pendapat ini juga dikuatkan oleh pernyataan ‘Umar bin al-Khatthab. Lihat, al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an, juz V, hal. 338.

7. An-Nawawi, al-Majmu’, juz III, hal. 161; Ibn ‘Abidin, Hasyiyah, juz I, hal. 380; Ibn Taymiyah, Syarh al-’Umdah, juz IV, hal. 502; as-Syawkani, Nayl al-Awthar, juz II, hal. 143.